Search This Blog

Sunday, 28 January 2018

Kenapa Jadi Begini Sahabat?

Biar ku ceritakan tentang rasaku yang selama ini ku pendam. Tentang aku dan seorang yang ku anggap sahabat, atau salah?

Kau yang dulu ku anggap sebagai sahabat, kau yang dulu ku anggap yang paling setia.
Kini menjauh karena perasaan yang salah. Hati yang terlalu cepat menafsirkan.

Ku rindu masa itu, masa di mana aku merasa sangat beruntung bisa mengenalmu. Bisa ku kategorikan kau adalah perempuan paling cantik di sekolahan. 
Kita hebat dahulu, sangat ku akui dan tak ku pungkiri kita sangatlah hebat. Bahkan sampai ada beberapa orang yang iri dengan kita.

Kita galau bersama, tapi tidak kepada orang yang sama, berkeluh kesah pun hampir sama. Bahkan mempunyai tujuan yang sama saat itu.
Aku ingat, kita ingin membeli sebuah tas baru di suatu toko, namun karena tak ingin menyusahkan orang tua kita memutuskan untuk menjual buku-buku kita yang sudah tidak terpakai. Setelah dijual, ternyata uangnya tetap tidak cukup. Aku juga ingat kita sering buka puasa diam-diam di KFC Cemara tanpa ingat dosa. Aku juga ingat kau yang menemaniku di hari-hari terakhirku di Medan sebelum pindah ke Pekanbaru. Setelah aku pindah kau juga yang paling gencar mengatakan rindu dan memintaku untuk kembali ke Medan atau paling tidak untuk sekedar liburan.

Bahagianya aku mengingat semua. Senyum serta rasa haru tiba-tiba muncul ketika aku menuliskan ini.

Biar ku ceritakan lagi awal mula kita renggang. 
Entah bagaimana caranya aku pun kembali ke Medan, bersekolah lagi di Medan walaupun tidak bisa pindah di sekolah yang dulu. Kau pun bahagia, walau ku tahu kau telah menemukan penggantiku (sahabat) di sekolah. Beberapa kali kita bertemu, curhat, dan bercanda. Banyak hal yang telah ku lewatkan selama aku pindah.
Kini orang itu tlah baru, orang yang kau galaukan adalah orang baru meskipun aku mengenalnya. 

Tak berapa lama bahagia ini berlangsung, semua terasa hancur saat aku tahu aku tak diundang di acara syukuranmu hendak berangkat haji atau umroh (aku lupa), bahkan aku tak tahu bahwa kau akan pergi ke Mekkah, kau juga tak pernah cerita. Pada saat itu aku seolah merasa tak dianggap, aku seolah merasa aku bukan teman baikmu, aku merasa dikhianati.

Egoku memuncak, aku bertindak seolah tak pernah mengenalmu, kau menyadari perubahanku dan bertanya padaku "kau kenapa?". Ingin sekali aku mengatakan "Aku cemburu tak kau undang di acara syukuranmu itu", tapi tidak jadi karena aku malu dan kecewa. Lalu pertanyaanmu tak ku jawab, aku hanya diam saja. Dan setelah itu kau hanya bersikap seolah aku lah yang ingin menjauh darimu. Seolah aku lah yang sudah muak dengan persahabatan kita. Tak pernah kau sadari di sini aku hancur, aku sedih, hatiku berteriak, aku ingin kau sadar mengapa aku bertingkah menjauh, tapi kau terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa memang aku lah yang ingin menjauh.

Hari pun berlalu, aku sudah hampir terbiasa dengan keadaan ini. Namun ternyata tak lama aku memiliki kekasih. Dia adalah teman sekelas kita dahulu, tak pernah ku duga bisa bersamanya bahkan kau sendiri pun tak percaya. 
Banyak hal yang  tlah ku lewatkan, aku pun tak menyangka kau ternyata telah menjadi teman dekatnya bersama juga dengan yang satunya. Kalian ber3 membentuk sebuah geng. 
Kita pun kembali dekat, betapa bahagianya aku kita kembali seperti dahulu.

Namun ternyata semuanya palsu setelah ku ketahui ternyata kau baik lagi denganku hanya karena aku pacar temanmu itu.
"Aku kepadamu seperti ini hanya karena dia, dia sudah sangat baik padaku". kurang lebih begitulah kata-katamu.
Menusuk. Sangat menusukku. Akupun sedih, namun ku usahakan tak ku anggap. Kita tetap terlihat 'baik' saja.

Hingga suatu hari aku bermasalah dengannya, dia pun curhat kepadamu segala sesuatunya hingga perhatiannya pun kepadamu. Aku tak cemburu, sedikit pun tidak. Karena aku tahu hatimu, karena aku tahu kau, aku percaya kau, dan terlebih lagi aku tahu seleramu.
Namun dia semakin menjadi, dia selalu curhat tentang masalah kami kepadamu, bahkan waktunya dihabiskan untuk minta solusi padamu. 

Aku marah, malah semakin marah. Tapi tidak kepadamu, aku marah kepadanya, ku katakan padanya "masalah kita lebih baik hanya kita yang tahu". Dan entah mengapa kata-kataku kepadanya itu sampai kepadamu. Kau pun terluka, kau seolah merasa bahwa kau lah penyebab masalah kami (ku tahu itu dari twitmu di twitter). Padahal bukan itu maksudku, sudah ku katakan aku percaya padamu. Tapi semua terlanjur, kau pun mulai menjauhiku. Padahal sama sekali bukan itu yang aku maksud.
Akhirnya kita renggang lagi, aku tak menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya sedih mengapa kita jadi begini, kita yang dulu hebat kini renggang karena salah pahamnya hati.

Kini aku pun terbiasa lagi tanpa mu, meski terkadang sering kali aku teringat akan dirimu. Hanya kata 'andai' yang bisa ku ucap sekarang.

Semoga kau sehat selalu, berbahagia-lah bersama orang-orang disekelilingmu. Maafkan aku yang hanya berani mengatakan ini lewat catatan ini. Maaf aku tak pernah menyampaikannya padamu. Maaf.

Template by:

Free Blog Templates